Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Mengenal Allah Ta'ala


Mengenal Allah Ta’ala

Pilar Kepribadian Seorang Muslim

“Isyhadu bi Annaa Muslimun”

“Dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah muslim !”

Saudaraku, sebagaimana membangun rumah tempat kita tinggal, tentu tidak akan mungkin berdiri tanpa pilar-pilar yang menyangganya, demikian pula halnya dengan membangun rumah kepribadian, ia pun tidak akan bisa berdiri kokoh tanpa pilar-pilar yang mengusungnya. Salah satu pilar itu adalah mengenal Allah secara baik dan benar (Ma’rifatullah).

Apa Itu Mengenal Allah?
Saudaraku, mengenal Allah, bagi setiap muslim, adalah satu keniscayaan, bahkan kebutuhan. Dikatakan demikian karena dua alasan berikut:
Pertama, - Selama kita hidup di dunia ini, maka sejatinya kita sedang “berjalan”, dan setiap yang berjalan pasti punya tujuan, kalau ada orang yang berjalan tapi tidak punya tujuan, maka apalah makna perjalanan, sia-sia belaka. Atau dia punya tujuan (kota x semisal), tapi dia tidak tahu apa dan seperti apa kota x tersebut, ia pun pasti akan setengah hati menempuhnya. Tidak demikian halnya dengan orang yang tahu persis bagaimana kota x tersebut, yakni kota yang penuh keindahan, ketenangan dan harapan, maka tentu ia sangat mantap menempuh perjalanan menuju kota x tersebut. Begitu pulalah gambaran tentang hidup di dunia ini, hakikatnya sedang berjalan, dengan tujuan hakiki Allah Rabbul ‘Alamin, sebagaimana dinyatakan banyak orang dalam berbagai ungkapan : “Allah Ghayatuna” (Allah tujuan kami), atau “Ilahi Anta Maqshudi” (Ya Allah, engkaulah yang aku tuju) “Wa Ridhaka Mathlubi” (dan Ridha-Mu yang aku cari).
Siapa saja yang hidup di dunia ini tapi ia tidak mengetahui tujuan hakikinya, maka yang ada pada dirinya hanya kesia-siaan sepanjang hayat. Kalau pun ia mengetahui bahwa tujuan hakiki hidup di dunia ini adalah Allah, tapi ia tidak mengenal siapakah Allah itu (Ma’rifatullah), maka akibatnya ia akan setengah hati menempuh hidup di dunia ini. Tidak demikian halnya dengan orang yang mengenal dengan baik dan benar akan Allah Ta’ala, maka yang ia rasakan sepanjang perjalanan hidup di dunia ini adalah kemantapan, keyakinan, ketenangan dan harapan yang pasti, kalau ujung hidup di dunia yang cuma sekali-kalinya ini adalah keindahan yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga atau sekedar terbersit di dalam hati; itulah keindahan hidup dalam rengkuhan Ridha Allah dalam gelimang ni’mat surgawi yang tiada terkira, bersama para Nabi, Rasul, Syuhada, shalihin dan kekasih-kekasih Allah lainnya.
Kedua, - Hidup adalah kumpulan aktivitas, dan aktivitas seseorang, sesungguhnya, amat sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kadar ma’rifah (pengenalan) dirinya akan Allah Ta’ala. Sebagai contoh, orang yang mengenal bahwa Allah itu Maha Mendengar, tentu ia akan sangat menjaga kata-katanya, jangan sampai terucap kata-kata yang tidak disukai Allah, atau mengenal Allah kalau Allah itu Maha Melihat tentu ia sangat berhati-hati dalam bersikap, jangan sampai ia melakukan sesuatu yang dimurkai Allah, atau mengenal bahwa Allah Maha Pemaaf lagi Pengampun, akan membuat dirinya mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan siapapun, mengenal Allah Maha Rahman dan Rahim, tentu akan melimpahlah kasih sayang dari dirinya. Singkat kata, orang yang benar-benar mengenal Allah; kemana-mana pertimbangan dirinya hanya satu saja, yaitu Allah Ridha atau tidak dengan apa yang dilakukannya. Kesemuanya ini akan membentuk kepribadian yang khas, yang mengkarakter dalam dirinya. Sebaliknya orang tidak (atau belum) mengenal Allah secara baik dan benar, maka apapun yang ia perbuat, pertimbangannya bukanlah Ridha Allah, tapi apakah ia suka atau tidak suka, yang berarti adalah nafsunya.
Seorang alim pernah berkata : “Barang siapa yang berbuat atau tidak berbuat semata-mata didorong rasa suka atau tidak suka maka ia adalah bayi.” Dan “bayi” adalah sosok yang memang tidak/belum mengenal apapun dalam hidup ini, termasuk mengenal Allah Ta’ala.



Jalan Mengenal Allah

Saudaraku, perlu dimengerti sebelumnya bahwa piranti paling utama untuk bisa mengenal Allah secara baik dan benar, bukanlah akal atau indra kita, melainkan hati. Karena itu tidaklah heran kalau ada orang yang merasa telah mengenal Allah, tapi tidak membawa perubahan berarti dalam hidupnya. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan karena ia mengenal Allah baru sebatas akal dan indranya belaka, belum menghunjam masuk ke dalam hati.
Sesungguhnya tahap paling awal untuk bisa mengenal apapun (termasuk mengenal Allah) adalah dengan “melihat” atau ‘mendengar”. Kalau yang ingin kita kenali adalah sesama makhluk, maka yang kita butuhkan adalah melihat mereka dengan “mata kepala” atau mendengar dengan “telinga kepala”. Namun untuk bisa mengenal Allah, tidaklah cukup kalau kita secara an sich, hanya mengandalkan dua indera tadi, akan tetapi harus kita ikuti dengan membuka mata dan telinga hati.
Allah Ta’ala berfirman : “Dan sungguh telah kami jadikan isi jahanam itu sebagian besar dari jin dan manusia; mereka memiliki hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami, merekapun punya mata tapi tidak dipergunakan untuk melihat, dan merekapun punya telinga tapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu bagai binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf: 179)
Saudaraku, sesungguhnya yang membuat mata tidak bisa melihat dan telinga tidak bisa mendengar, adalah karena hati manusia dipenuhi kelalaian (lih. Penghujung ayat di atas), dan hati manusia lalai karena tertutup berbagai kotoran (dosa) dan penyakit-penyakit yang bersarang di hati seperti sombong, ujub, riya, cinta dunia, benci, dengki, bakhil dan lain sebagainya, karena itu cara paling prinsip untuk bisa membuka mata dan telinga hati kita adalah membersihkan segala kotoran yang menutupi hati dan mengobati penyakit-penyakitnya. Kotoran hati bisa bersih dengan taubat, dan penyakit hati bisa sembuh dengan jihadun nafsi (memerangi nfasu).
Prinsip utama dalam taubat adalah bagaimana kita bisa melakukan “inabah” (kembali) dari perilaku yang mukhalafat (bertentangan dengan Keingina Allah) menuju perilaku yang mufawaqat (berseuaian dengan Keinginan-Nya).

Sementara prinsip dalam jihadun nafsi adalah kita berjuang untuk bersikap mukhalafat dengan segala keinginan nafsu. Saat nafsu mengajak kita membenci seseorang, justru kita menyayanginya, saat nafsu mengajak kita berpuas diri dengan makanan, justru kita puasa, saat nafsu meninabobokan kita untuk tidur, justru kita bangkit untuk beribadah kepada-Nya dan seterusnya.
Saudaraku, ketika di hati ini sudah tidak ada lagi kotoran yang melekat, tidak ada pula penyakit yang hinggap, maka akan dengan sendirinya, apapun yang kita lihat dengan mata kepala, atau yang kita dengar dengan telinga kepala akan mengantarkan kita bisa “melihat” dan “mendengar” Keagungan dan Kebesaran Allah Ta’ala.
Sedemikian rupa Keagungan dan Kebesaran Allah itu merayapi sekujur hati, hingga tak terasa dari bibir ini keluar kata-kata : “Ya Allah, tiadalah Kau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, Jagalah kami dari adzab neraka.” (QS. Ali Imran ; 191)
Ibnu “Athaillah berkata : “Barang siapa yang melihat alam semesta ini, tapi ia tidak menemukan Keagungan dan Kekuasaan Allah di sana, maka sesungguhnya ia sama dengan melihat dalam gelap.”
Ya Allah, telah lama kami tidak mengenal-Mu, hanya dunia semata yang menyibukkan hati kami. Hidupkan kembali hati kami ya Allah dengan cahaya Ma’rifah-Mu yang tiada ‘kan pernah padam. Jadikan hati kami, hati yang bisa “menyimpan” Keagungan dan Kebesaran-Mu, hingga kami tidak melihat dan mendengar apapun di dunia ini kecuali mengantarkan kami selalu ingat dengan-Mu, semakin dekat dengan-Mu dan semakin meyakini bahwa di dunia ini yang “ada” hanyalah Engkau. Wal HamduliLLahi Rabbil ‘Alamin.
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS