Mengenal Allah Ta’ala
Pilar Kepribadian Seorang Muslim
“Isyhadu bi Annaa Muslimun”
“Dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah muslim !”
Apa Itu Mengenal Allah?
Saudaraku, mengenal Allah, bagi setiap muslim,
adalah satu keniscayaan, bahkan kebutuhan. Dikatakan demikian karena dua alasan
berikut:
Pertama, - Selama kita hidup di dunia ini, maka sejatinya kita sedang
“berjalan”, dan setiap yang berjalan pasti punya tujuan, kalau ada orang yang
berjalan tapi tidak punya tujuan, maka apalah makna perjalanan, sia-sia belaka.
Atau dia punya tujuan (kota x semisal), tapi dia tidak tahu apa dan seperti apa
kota x tersebut, ia pun pasti akan setengah hati menempuhnya. Tidak demikian
halnya dengan orang yang tahu persis bagaimana kota x tersebut, yakni kota yang
penuh keindahan, ketenangan dan harapan, maka tentu ia sangat mantap menempuh
perjalanan menuju kota x tersebut. Begitu pulalah gambaran tentang hidup di
dunia ini, hakikatnya sedang berjalan, dengan tujuan hakiki Allah Rabbul
‘Alamin, sebagaimana dinyatakan banyak orang dalam berbagai ungkapan : “Allah
Ghayatuna” (Allah tujuan kami), atau “Ilahi Anta Maqshudi” (Ya
Allah, engkaulah yang aku tuju) “Wa Ridhaka Mathlubi” (dan
Ridha-Mu yang aku cari).
Siapa saja yang hidup di dunia ini tapi ia tidak mengetahui
tujuan hakikinya, maka yang ada pada dirinya hanya kesia-siaan sepanjang hayat.
Kalau pun ia mengetahui bahwa tujuan hakiki hidup di dunia ini adalah Allah,
tapi ia tidak mengenal siapakah Allah itu (Ma’rifatullah), maka
akibatnya ia akan setengah hati menempuh hidup di dunia ini. Tidak demikian
halnya dengan orang yang mengenal dengan baik dan benar akan Allah Ta’ala, maka
yang ia rasakan sepanjang perjalanan hidup di dunia ini adalah kemantapan,
keyakinan, ketenangan dan harapan yang pasti, kalau ujung hidup di dunia yang
cuma sekali-kalinya ini adalah keindahan yang tidak pernah dilihat mata,
didengar telinga atau sekedar terbersit di dalam hati; itulah keindahan hidup
dalam rengkuhan Ridha Allah dalam gelimang ni’mat surgawi yang tiada terkira,
bersama para Nabi, Rasul, Syuhada, shalihin dan kekasih-kekasih Allah lainnya.
Kedua, - Hidup adalah kumpulan aktivitas, dan aktivitas seseorang,
sesungguhnya, amat sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kadar ma’rifah (pengenalan)
dirinya akan Allah Ta’ala. Sebagai contoh, orang yang mengenal bahwa Allah itu
Maha Mendengar, tentu ia akan sangat menjaga kata-katanya, jangan sampai
terucap kata-kata yang tidak disukai Allah, atau mengenal Allah kalau Allah itu
Maha Melihat tentu ia sangat berhati-hati dalam bersikap, jangan sampai ia
melakukan sesuatu yang dimurkai Allah, atau mengenal bahwa Allah Maha Pemaaf
lagi Pengampun, akan membuat dirinya mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan
siapapun, mengenal Allah Maha Rahman dan Rahim, tentu akan melimpahlah kasih
sayang dari dirinya. Singkat kata, orang yang benar-benar mengenal Allah;
kemana-mana pertimbangan dirinya hanya satu saja, yaitu Allah Ridha atau tidak
dengan apa yang dilakukannya. Kesemuanya ini akan membentuk kepribadian yang khas,
yang mengkarakter dalam dirinya. Sebaliknya orang tidak (atau belum) mengenal
Allah secara baik dan benar, maka apapun yang ia perbuat, pertimbangannya
bukanlah Ridha Allah, tapi apakah ia suka atau tidak suka, yang berarti adalah
nafsunya.
Seorang alim pernah berkata : “Barang siapa
yang berbuat atau tidak berbuat semata-mata didorong rasa suka atau
tidak suka maka ia adalah bayi.” Dan “bayi” adalah sosok yang memang
tidak/belum mengenal apapun dalam hidup ini, termasuk mengenal Allah Ta’ala.
Jalan Mengenal Allah
Saudaraku, perlu dimengerti sebelumnya bahwa
piranti paling utama untuk bisa mengenal Allah secara baik dan benar, bukanlah
akal atau indra kita, melainkan hati. Karena itu tidaklah heran kalau ada orang
yang merasa telah mengenal Allah, tapi tidak membawa perubahan berarti dalam
hidupnya. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan karena ia mengenal Allah baru
sebatas akal dan indranya belaka, belum menghunjam masuk ke dalam hati.
Sesungguhnya tahap paling awal untuk bisa mengenal
apapun (termasuk mengenal Allah) adalah dengan “melihat” atau ‘mendengar”.
Kalau yang ingin kita kenali adalah sesama makhluk, maka yang kita butuhkan
adalah melihat mereka dengan “mata kepala” atau mendengar dengan “telinga
kepala”. Namun untuk bisa mengenal Allah, tidaklah cukup kalau kita secara an
sich, hanya mengandalkan dua indera tadi, akan tetapi harus kita ikuti
dengan membuka mata dan telinga hati.
Allah Ta’ala berfirman : “Dan sungguh telah
kami jadikan isi jahanam itu sebagian besar dari jin dan manusia; mereka
memiliki hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami, merekapun punya mata tapi
tidak dipergunakan untuk melihat, dan merekapun punya telinga tapi tidak
dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu bagai binatang, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf:
179)
Saudaraku, sesungguhnya yang membuat mata tidak
bisa melihat dan telinga tidak bisa mendengar, adalah karena hati manusia
dipenuhi kelalaian (lih. Penghujung ayat di atas), dan hati manusia lalai
karena tertutup berbagai kotoran (dosa) dan penyakit-penyakit yang bersarang di
hati seperti sombong, ujub, riya, cinta dunia, benci, dengki, bakhil dan lain
sebagainya, karena itu cara paling prinsip untuk bisa membuka mata dan telinga
hati kita adalah membersihkan segala kotoran yang menutupi hati dan mengobati
penyakit-penyakitnya. Kotoran hati bisa bersih dengan taubat, dan
penyakit hati bisa sembuh dengan jihadun nafsi (memerangi nfasu).
Prinsip utama dalam taubat adalah bagaimana kita
bisa melakukan “inabah” (kembali) dari perilaku yang mukhalafat
(bertentangan dengan Keingina Allah) menuju perilaku yang mufawaqat
(berseuaian dengan Keinginan-Nya).
Sementara prinsip dalam jihadun nafsi adalah kita
berjuang untuk bersikap mukhalafat dengan segala keinginan nafsu. Saat
nafsu mengajak kita membenci seseorang, justru kita menyayanginya, saat nafsu
mengajak kita berpuas diri dengan makanan, justru kita puasa, saat nafsu
meninabobokan kita untuk tidur, justru kita bangkit untuk beribadah kepada-Nya
dan seterusnya.
Saudaraku, ketika di hati ini sudah tidak ada lagi
kotoran yang melekat, tidak ada pula penyakit yang hinggap, maka akan dengan
sendirinya, apapun yang kita lihat dengan mata kepala, atau yang kita dengar
dengan telinga kepala akan mengantarkan kita bisa “melihat” dan “mendengar”
Keagungan dan Kebesaran Allah Ta’ala.
Sedemikian rupa Keagungan dan Kebesaran Allah itu
merayapi sekujur hati, hingga tak terasa dari bibir ini keluar kata-kata : “Ya
Allah, tiadalah Kau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau,
Jagalah kami dari adzab neraka.” (QS. Ali Imran ; 191)
Ibnu “Athaillah berkata : “Barang siapa yang
melihat alam semesta ini, tapi ia tidak menemukan Keagungan dan Kekuasaan Allah
di sana, maka sesungguhnya ia sama dengan melihat dalam gelap.”
Ya Allah, telah lama kami tidak mengenal-Mu, hanya
dunia semata yang menyibukkan hati kami. Hidupkan kembali hati kami ya Allah
dengan cahaya Ma’rifah-Mu yang tiada ‘kan pernah padam. Jadikan hati kami, hati
yang bisa “menyimpan” Keagungan dan Kebesaran-Mu, hingga kami tidak melihat dan
mendengar apapun di dunia ini kecuali mengantarkan kami selalu ingat dengan-Mu,
semakin dekat dengan-Mu dan semakin meyakini bahwa di dunia ini yang “ada”
hanyalah Engkau. Wal HamduliLLahi Rabbil ‘Alamin.