Pagi
yang indah, air terjun berderu begitu derasnya. Sejuk dan segar menyelimuti
pagiku dan Hafidz. Kami siswa kelas 6 MI Fattahillah di sebuah desa kecil namun
memiliki kekayaan alam yang indah nan asri, Desa Sucopangepok. Desa dengan sejuta
keindahan namun terbelakang dalam bidang pendidikan apalagi teknologi yang
canggih seperti sekarang ini.kami hidup di lingkungan yang sederhana. Aku hanyalah
anak seorang petani dengan penghasilan pas-pasan bahkan kekurangan, sedangkan
Hafidz berasal dari keluarga yang sederhana. Ada seorang pemuda bernama Fuad,
dia anak orang terkaya di desa kami. Hanya orang tuanya yang telah bersandang
gelar Haji. Kami tumbuh di desa yang sama dan lingkungan yang sama namun dengan
kehidupan yang berbeda.
***
“Fatimah...
Hafidz... Kalian berdua mewakili sekolah kita untuk lomba cerdas cermat tingkat
Kabupaten Jember. Besok kalian akan berangkat bersama saya dan Pak Ahmad”, kata
Bu Umi kepada kami.
“Siap,
buuu...”, ungkap kami bahagia.
Kami
memang sering mewakili sekolah dalam berbagai perlombaan dari antar sekolah
hingga tingkat provinsi. Meskipun tidak selalu menjadi juara, namun kami
berusaha memberikan yang terbaik untuk sekolah kami. Kali ini, kami memperoleh
juara umum tingkat kabupaten dan lanjut ke tingkat provinsi.
“Fatimah,
pokoknya kali ini kita harus sabet juara umum yaaa”, ucap Hafidz padaku dengan
penuh semangat dan senyumnya yang khas itu.
Yahh,,
Hafidz memang penuh semangat dan itulah mengapa aku juga sangat bersemangat
dalam mengikuti lomba-lomba seperti ini. Kami memang dekat dan kami senang
bercanda bersama di saat apapun. Susah senang kami lalui bersama. Dia sudah
seperti teman sekaligus teman bagiku. Kami sering belajar bersama, hampir
setiap hari. Terkadang di rumahku ataupun di rumah Hafidz.
Akhirnya
tiba saatnya pengumuman pemenang lomba cerdas cermat. Tak disangka, kami
menjadi juara umum dalam ajang tersebut. Ini merupakan hal yang sangat tak terduga.
Sebuah lomba bergengsi tingkat provinsi dimenangkan oleh siswa dari sekolah
terpencil di sebuah desa yang kecil pula.
Tiba-tiba
Hafidz berteriak padaku, “Fatimah,, kau dengar itu??? Kita jadi juara umum.
Tidak sia-sia perjuanga kita selama ini. Kita bisa bebas memilih SMP yang kita
inginkan”. Ku hanya tersenyum melihat kegembiraannya. Karena ku tahu bahwa ku
tidak dapat melanjutkan sekolah ke SMP yang kuinginkan. Orang tuaku
menginginkanku ke Pondok Pesantren. Akhirnya, Hafidz memilih SMP Negeri Bangkit
Bangsa yang merupakan sekolah terbaik di kota Surabaya. Sejak saat itu kami
berpisah dan mulai menjalani kehidupan kami masing-masing tanpa ada canda tawa
kami seperti sebelumnya.
“Kamu
mau melanjutkan kemana?”, tanya Hafidz padaku.
“Aku
tidak melanjutkan ke SMP karena orang tuaku tidak mampu membiayai sekolahku
jika di SMP apalgi SMP seelit SMP pilihanmu. Orang tuaku menginginkanku untuk
ke Pondok Pesantren saja. Seperti yang aku tahu, adat di desa kita ini siapa
yang paling cepat lulus dari Ponpes, dialah yang dianggap pintar,” ungkapku
dengan raut wajah yang berusaha menutupi kesedihanku.
“Iya,
aku tahu itu, Fatimah. Jika memang itu yang menurut orang tuamu baik maka
jalanilah itu dengan ikhlas. Aku yakin, kelak kau pasti menjadi orang sukses
seperti impian kita. Kau menjadi seorang pengajar dan aku ingin menjadi seorang
pencipta pesawat terbang seperti B.J. Habibie. Semangat kawan....”, katanya
untuk menyemangatiku.
Ujian
nasional telah berlangsung dan kami memperoleh nilai yang cukup memuaskan. Aku
bersiap untuk masuk Pondok Pesantren Darussalam di kota, sedangkan Hafidz
bersiap untuk pindah ke Surabaya, melanjutkan sekolahnya di sana. Dia pindah
sendirian, orang tuanya tetap di desa kami yang kecil ini. Dia di Surabaya
tinggal di rumah pamannya. Sebelum berangkat, kami bertemu untuk mengucapkan
selamat tinggal satu sama lain.
“Fatimah,
aku mau pamit. Sebentar lagi ku berangkat ke Surabaya. Semoga persahabatan kita
tetap terjaga”, ujarnya.
“Iya,
hati-hati di jalan yaa...Semoga kesuksesan selalu menyertaimu”, ucapku dengan
tersenyum padanya.
“Nanti
jika liburan sekolah aku akan pulang dan bolehkah aku bertemu denganmu lagi?”,
pinta Hafidz.
“Tentu
saja boleh. Insya Allah jika aku bisa izin untuk pulang ketika liburan nanti”,
ucapku agak berat. Karena di Ponpes tempatku menimba ilmu sangat sulit
emndapatkan izin pulang jika tidak pada hari besar keagamaan saja.
***
Ibu
Hj. Ida dan suaminya H. Soleh, memiliki seorang anak semata wayang bernama
Fuad. Dia seorang anak yang brutal, tapi sikap buruknya tertutupi oleh topeng
kebaikan yang dia punya. Dengan keadaan keluarganya yang merupakan keluarga
terkaya di desa kami, warga menjadi segan pada keluarga mereka. Begitu pula
kepada Fuad, Fuad terkenal sebagai pemuda yang baik namun sebenarnya tidak
demikian. Fuad 3 tahun lebih tua daripada aku. Suatu ketika ia kepergok mencuri
uang ibunya sehingga kedua orang tuanya sangta marah sekali dan memutuskan
untuk memondokkannya ke Pondok Pesantren Darussalam, tempatku memondok juga.
***
“Fuad,
apa yang kamu lakukan? Kamu mencuri uang umi?”, ucap umi Ida tegas pada Fuad.
“Ti...tidak,,
umi. Fuad tadi menemukan dompet umi terjatuh di lantai”, ucapnya berbohong.
“Seingat
umi, tadi dompet umi ada di dalam lemari dan kenapa kamu menyembunyikan dompet
umi di balik punggungmu? Dan kenapa kamu terlihat bingung dan gugup seperti
itu? Cepat kembalikan”, ucapnya dengan nada meninggi.
“Tidak,
umi. Fuad tidak mengambil uang umi. Fuad hanya ingin meminta sedikit uang umi
karena Fuad butuh uang untuk membeli sesuatu”, katanya beralasan.
“Pasti
kamu mau membeli rokok lagi. Cepat bawa kemari dompet umi”, katanya marah.
Tiba-tiba
H.Soleh, abi Fuad datang dan mengetahui hal tersebut. Sehingga beliau sangat
marah dan memutuskan untuk mengirim Fuad ke Pondok Pesantren. Awalnya Fuad
sangat menentang hal tersebut, namun dia harus bisa menerima keputusan orang
tuanya.
***
Liburan
pun tiba. Hampir dua setengah tahun aku tidak pulang dan saat itu Hafidz juga
pulang ke kampung kami tercinta. Dan Hafidz memenuhi janjinya, yaitu mengajakku
untuk bertemu. Dia sengaja main ke rumahku.
“Assalamu’alaikum,
Fatimah...”, ucapnya sambil tersenyum.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah, bang Hafidz”, jawabku dengan tersenyum pula.
“Meme,
abang punya kabar bahagia. Abang mendapatkan beasiswa melanjutkan sekolah di MA
Nurruzzaman di Jakarta dan jika nilai abang masuk yang terbaik berturut-turut,
abang akan mendapatkan beasiswa lagi untuk kuliah ke luar negeri. Abang ingin
ke Jerman kuliah jurusan teknik mesin biar bisa seperti pak Habibie”, katanya
bahagia. Meme adalah panggilan akrabku dan hanya bang Hafidz yang memanggilku
begitu.
“Barokallah,,
alhamdulillah... Selamat yaa, bang. Meme ikut senang mendengarnya.
Alhamdulillah sebentar lagi Meme juga akan lulus dari pondok dan mungkin tidak
akan meneruskan ke MA. Meme akan mengajar ngaji di TPQ di desa kita ini”,
kataku penuh syukur.
“Semoga
cita-cita kita dapat tercapai. Abang mohon doanya yaa,, semoga abang dapat
segera meraih impian abang agar abang cepat datang lagi padamu”, ucap bang
Hafidz.
“Aamiin.
Semoga Allah mengijabahi. Ehmb,, memangnya ada apa, bang? Kok mau datang ke
Fatimah lagi?”, tanyaku bingung.
“Abang
ingin meminang adik Meme untuk jadi istri abang kelak, insya Allah. Abang harap
Meme sabar menunggu abang”, jawabnya.
Spontan
aku shock, karena mungkin ini terlalu
dini namun aku tahu dan paham hal itu tidak aneh jiak terjadi di desa kami. Mungkin
sudah menjadi adat turun-temurun dari nenek moyang kami tentang pernikahan
dini, namun Hafidz tidak ingin tergesa-gesa karena dia ingin menjadi pria yang
mapan sehingga mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
“App...apa,
bang?”, kataku gagap.
“Iya,
abang serius sama adik”, jawabnya lugas.
“Insya
Allah, bang”, kataku singkat.
“Ya
sudah, abang pamit dulu yaaa... gak enak kalo kelamaan. O iya, abang sekalian
pamit karena besok abang harus kembali ke Surabaya. Nanti abang kirim surat
untuk kamu, jangan lupa dibalas yaaa”, ucapnya mengakhiri pertemuan kami.
“Bapak,
ibu, Fatimah, saya pamit pulang dulu. Assalamu’alaikum...”, bang Hafidz
berpamitan kepada orang tuaku.
“Wa’alikumussalam
warahmatullah. Iya, nak. Kapan-kapan main lagi kemari”, jawab orang tuaku.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah”, jawabku sambil tersenyum padanya.
***
Ibuku
sangat dekat dengan umi Fuad karena ternyata diam-diam untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari kami yang masih tergolong sulit, beliau pernah meminjam uang kepada
umi bang Fuad.
“Bu
Aisyah, kira-kira kapan dapat melunasi hutangnya?”, kata umi Ida.
“Maaf
ya, jeng. Saya masih belum bisa melunasinya karena belum ada uang untuk
membayarnya”, jawab ibuku.
“Jeng,
anak kita kan sama-sama di Ponpes Darrussalam. Sebentar lagi anak saya Fuad
yang ganteng itu akan lulus dan anak jeng Aisyah kan juga mau lulus. Bagaimana
kalau mereka kita jodohkan saja. Yang satu ganteng dan yang satunya cantik.
Anak jeng Aisyah kan kalem banget tuh yaaaa... pasti cocok sama anak saya”,
ujar umi Ida penuh semangat.
“Nanti
hutang Bu Aisyah saya anggap lunas deh. Dari dulu saya juga pengen banget
berbesan dengan sampeyan loh, jeng... Bagaimana?”, tambahnya.
“Wah,
boleh juga tuh idenya. Suami saya mungkin juga tidak keberatan dan pasti
Fatimah juga tidak keberatan”, jawab ibuku.
“Nanti
kalau mereka sudah pulang, mari berkunjung ke rumah saya sekalian kita kenalkan
mereka berdua”, tambah ibuku senang.
“Iya,
jeng. Pastinya kalau itu. Langsung lamaran aja gimana, jeng? Gak usah pakek
pacaran-pacaran, langsung tentukan tanggalnya aja. Bagaimana, jeng?”, ucapnya
senang dan penuh semangat.
Sesampainya
di rumah, umi Ida menjelaskan tujuannya melamarku untuk bang Fuad. Padahal saat
itu kami belum saling mengenal. Namun, kedua orang tua kami sudah saling
setuju. Dan tibalah ketika wisuda kelulusan, kami pulang kembali ke rumah.
“Fuad,,
alhamdulillah. Akhirnya kamu lulus juga. Bagaimana keadaanmu selama di sana?
Umi kangen sama kamu”, ungkap rindu umi Ida diikuti H.Soleh.
“Alhamdulillah
baik, umi, abi”, jawabnya dengan tersenyum.
Ssampainya
di rumah, mereka menjelaskan maksud tujuan mereka tentang perjodohan antara
bang Fuad denganku.
“Fuad,
kami berniat menjodohkan kamu dengan anak ibu Aisyah yang cantik itu, Fatimah.
Dia dulu adik kelasmu di MI dan dia juga satu Pondok Pesantren dengan kamu.
Kamu mengenalnya kan?”, jelasnya.
“Iya,
umi. Fuad ingat. Dia memang cantik, pendiam, kalem, dan murah senyum lagi. Fuad
juga suka sama dia. Heheh..”, jawabnya dengan tertawa.
“Alhamdulillah.
Abi, besok kita datang ke rumah bu Aisyah ya untuk melamar Fatimah. Umi akan
urus semuanya”, ucap umi Ida dengan penuh syukur karena bang Fuad memang
bersedia.
“Abi
akan menghubungi keluarga bu Aisyah. Kamu Fuad, persiapkan dirimu untuk besok”,
ungkap abi bang Fuad.
“Siap,
abi. Terima kasih ya, umi, abi”, ungkapnya senang.
***
Keluargaku
pun mempersiapkan segala sesuatunya. Namun, hatiku sangat berat. Karena di sisi
lain aku belum mengenal dengan baik bang Fuad dan aku lebih berharap bahwa yang
akan datang meminangku adalah bang Hafidz, kawan terbaikku sejak kecil yang
ternyata ia juga berharap bersatu denganku. Apalah dayaku, orang tuaku telah
menetapkan dan semuanya sudah setuju. Bang Fuad mungkin memang pilihan terbaik
yang telah disiapkan Allah untukku. Tibalah hari di mana bang Fuad hadir beseta
keluarganya untuk mengkhitbahku.
“Fatimah
cantik yaa... Abang suka sama Fatimah”, celetuk bang Fuad di depan keluarga
besar kami. Aku hanya tersenyum dalam tundukan kepalaku.
“Sabar...
Sebentar lagi kalian juga akan menikah”, jawab umi dan abinya sambil semuanya
terkekeh mendengar ucapan bang Fuad.
Sebulan
kemudian kami menikah. Orang tua bang Fuad mempersiapkan pesta besar untuk
kami. Aku ingin memberikan kabar kepada bang Hafidz bahwa aku telah menikah
dengan bang Fuad karena pilihan orang tuaku. Sungguh berat hati ini untuk
ungkapkan hal itu padanya. Namun, jika ku tak memberitahukan, ku takut hanya
memberikan harapan palsu pada bang Hafidz. Aku tak mampu menyakiti hatinya
karena sebenarnya aku juga menyukainya namun, rasa itu harus ku hapus dari
hatiku karena kini ku telah bersuami.
Suratku
pada bang Hafidz:
Assalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh...
Sebelumnya, Fatimah ingin
mengucapkan selamat kepada abang karena Fatimah mendapat kabar bahwa abang
mendapatkan beasiswa ke MA Nurruzzaman. Semoga abang dapat mempertahankan
prestasi abang sehingga kelak dapat mewujudkan impian abang kuliah ke Jerman.
Aamiin..
Bagaimana kabar abang di
sana?
Semoga selalu dalam
lindungan Allah. Aamiin
Alhamdulillah Fatimah
sudah lulus dari pondok. Sekarang fatimah mengajar ngaji di TPQ Al-Hikmah di
desa kita dan menjadi guru di MI Fattahillah. Sekolah kita dulu. Sebenarnya
dengan kedatangan surat ini, Fatimah ingin meminta maaf karena harus
memberitahukan sesuatu hal yang mungkin akan mengecewakan hati abang. Fatimah
sudah menikah dengan bang Fuad anak H.Soleh. Fatimah dijodohkan oleh orang tua
dan Fatimah tidak dapat menolaknya karena kedua orang tua kami telah setuju dan
orang tuaku juga sudah banyak dibantu oleh keluarga bang Fuad.
Maaf, Fatimah
mengahancurkan keinginan abang. Karena sebenarnya Fatimah juga belum bisa
melupakan abang. Namun, sekarang keadaannya sudah berbeda. Fatimah telah
menikah sehingga rasa itu harus Fatimah hilangkan secara perlahan. Sudah ada
bang Fuad dalam kehidupan Fatimah. Semoga abang dapat menerima semua kenyataan
ini. Dan semoga abang dapat melanjutkan untuk mewujudkan impian abang menjadi
pencipta pesawat terbang seperti bapak B.J. Habibie.
Terima kasih telah berbagi
suka duka bersama Fatimah selama ini.
Wassalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh
***
Setelah
menerima surat itu, Hafidz merasa bahwa
sebagian hidupnya telah hilang. Namun, dengan keyakinannya yang kuat, ia mampu
bangkit kembali dan memilih fokus untuk meraih impiannya. Ia berhasil
mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri. Ia berencana setelah selesai kuliah
ingin pulang ke Indonesia, ke kampung halamannya. Ia merindukan keindahan alam
desa kami dan tentu saja merindukan kedua orang tuanya. Selama itu, tak pernah
ia mengirim surat padaku. Hanya pesan yang dititipkan kepada orang tuanya untuk
ku. Katanya, “selamat menempuh hidup baru, semoga bahagia selalu”. Hanya
kata-kata itu yang ia titipkan untukku.
***
Kami
hidup berdua di rumah sendiri, rumah pemberian orang tua bang Fuad. Kehidupan
kami berkecukupan. Bang Fuad bekerja di perusahaan ayahnya. Awal rumah tangga
kami pada bulan-bulan pertama masih baik-baik saja. Namun, ketika memasuki
bulan ke enam pernikahan. Mulailah terlihat sifat asli bang Fuad yang agak kasar.
Suka marah-marah jika apa yang diminta tak kunjung ku berikan. Salah satu
kejadian ketika aku tengah pengajian rutin bersama ibu-ibu dan remaja putri di
masjid Al-Hidayah di kampung kami. Tiba-tiba bang Fuad datang dengan
marah-marah.
“Fatimah,
kau ini kemana saja?”, tanyanya.
“Maaf,
bang. Saya hanya di sini saja. Seperti biasanya saya mengikuti pengajian rutin
tiap minggu di sini”, jawabku.
“Kau
ini, kalau suamimu belum pulang kerja jangan keluyuran seenaknya aja. Cepat
pulang, aku lapar”, katanya sambil marah-marah.
“Iya,
bang. Tapi, di rumah saya tadi sudah masak untuk abang dan saya letakkan di
atas meja makan”, jawabku membela diri.
“Tapi
aku mau kau menyiapkan dan menghidangkan langsung di depanku. Cepat pulang!”,
sergahnya sambil menyeret tanganku dengan paksa. Spontan ku meminta maaf dan
berpamitan pada jamaah pengajian. Untungnya, para jamaah memaklumi itu karena
mereka menganggap itu adalah hal biasa. Pasangan muda yang masih ingin apa-apa
dilakukan berdua, ingin dimanjakan oleh istrinya.
Pertengkaran
semakin sering terjadi ketika masuk usia pernikahan kedua kami. Aku tidak
pernah bercerita sedikitpun pada orang tuaku bahkan mertuaku. Kami selalu
terlihat harmonis ketika di depan orang tua kami. Dan ketika kami keluar rumah
pun juga demikian. Namun, terkadang tiba-tiba amarahnya muncul ketika ku
melakukan kesalahan kecil. Misalnya ketika ku lupa menyiapkan dasi untuknya
tiap pagi sebelum berangkat ke kantor.
Sampai
suatu ketika, dia sangat marah...
“Fatimah...
Fatimah... Fatimah... Kamu di mana?”, teriaknya mencariku.
“Ke
mana dia? Semakin sering saja dia tidak di rumah!”, gumamnya.
Saat
itu aku sedang mengajar di TPQ dan dilanjutkan dengan mengisi pengajian di
musholla dekat rumah. Kemudian, bang Fuad mengahmpiri dan seperti biasa, dia
menyuruhku pulang.
“Fatimah,
ayo pulang!”, perintahnya memaksaku.
Aku
menurut saja. “Iya, bang. Saya pulang”, dengan rautku sedih. Aku berpamitan
dulu kepada jamaah pengajian. Lalu aku pulang bersama bang Fuad.
Sesampainya
di rumah....
“Kamu
ini apa-apaan? Semakin sering saja kamu kluyuran gak
karuan! Gak sadar
kamu menelantarkan suamimu?”, katanya marah.
“Astaghfirullah,
bang. Saya tidak bermaksud menelantarkan abang. Saya hanya menjalankan
kewajiban saya sebagai guru di
TPQ dan saya diminta untuk mengisi pengajian. Saya juga sudah izin pada abang
kemarin. Apa abang lupa?”, jawabku sedikit kesal juga.
“Iya,
tapi aku mau setiap aku pulang kerja, kamu selalu ada di rumah. Lagian ngapain
sih ikutan pengajian segala. Gak ada untungnya buat kamu. Kamu itu Cuma
dimanfaatin doank sama mereka. Dibayar juga tidak, buang-buang waktu aja. Itu juga
bukan tugasmu, yang penting kamu udah ngajar di TPQ. Kalau perlu kamu berhenti
ngajar, gak usah ke mana-mana! Diam saja di rumah, ngurus rumah!”, tambahnya
kesal.
“Tapi
saya ingin berbagi ilmu dengan mereka, bang. Saya juga ingin bermanfaat untuk
orang lain!”, ungkapku dengan nada mengeras.
“Maaf,
bang. Fatimah tidak bermaksud menentang abang. Fatimah tahu, abang imam Fatimah
dan sudah seharusnya tidak menentang abang. Tapi,mengajar adalah impian
Fatimah. Selama ini Fatimah hanya mengikuti apa kemauan orang tua dan sekarang
mengikuti kemauan abang. Fatimah hanya ingin menyalurkan apa yang Fatimah
rindukan, yaitu sekolah. Fatimah merasa nyaman mengajar dan berbagi ilmu dengan
mereka!”’, tandasku lagi dengan tangisku yang tiba-tiba mengalir.
Tiba-tiba...
PLAAKKKKK!!!!
Bang
Fuad justru menamparku...
Dua kali,, hingga aku tersungkur jatuh..
Aku
hanya pasrah. Tak mau melawan lagi. Namun, tiba-tiba keluar kata-kata yang
sangat kejam dari mulut bang Fuad...
“Kalau
kamu gak mau nurut, kita CERAI sekarang juga!!”, katanya tepat di depan
wajahku.
“Sekarang
kamu pergi saja dari rumah ini. Besok aku akan urus perceraian kita!”,
tambahnya.
Bergetar seluruh badanku. Hatiku
serasa teriris-iris. Aku tak mampu berkata-kata. Tak pernah sedikit pun
terbersit dalam benakku adanya perceraian dalam biduk rumah tanggaku. Namun,
hal itu sekarang terjadi. Malam itu juga aku pulang ke rumah orang tuaku dengan
penuh tangis. Air mataku tak hentinya mengalir. Pipiku bengkak karena tamparan
itu. Terlebih hatiku yang teramat sakit. Seseorang yang dulu begitu
menyayangiku telah berubah menjadi dirinya yang dulu, kasar dan angkuh.
***
“Assalamu’alaikum...”,
aku memberi salam pada ibuku sambil menangis.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah... Fatimah... kamu kenapa, nak?”, tanya ibuku dengan kaget.
“Ayo
masuk dulu, nak”, aku dituntun ibu masuk ke dalam rumah.
“Siapa,
bu?”, bapakku bertanya mennju ke ruang tamu.
“Fatimah...
Kamu kenapa malam-malam begini ke sini, nak? Kamu juga menangis dan pipi kamu
lebam. Sebenarnya apa yang terjadi?”, tanya bapakku kaget.
“Bang
Fuad, pak, bu... Dia menamparku...” jawabku sedih. Kemudian aku menceritakan
semua kejadian yang telah ku alami dan ibu berusaha mengobati lukaku sambil
mendengarkan ceritaku.
“Kurang
ajar!! Biar bapak yang tangani, biar dia tahu rasa. Seenaknya saja menampar
kamu dengan alasan yang begitu konyolnya!!”, ucap bapak dengan penuh kemarahan.
“Jangan,
pak. Biarkan saja. Besok bang Fuad akan mengurus perceraian kami. Kami akan
bercerai..”, ucapku sedih dan masih terisak-isak.
“Baguslah
kalau kalian akan bercerai. Bapak setuju kamu berpisah saja dengan dia. Dia tak
pantas mendapatkan wanita baik seperti kamu. Agar kamu juga tidak terus-terusan
disiksa oleh dia. Kurang ajar sekali
dia. Seumur-umur, bapak tidak pernah sekali pun memukul bahkan menampar kamu”,
sergah bapak.
“Sabar
ya, nak... Memang tidak mudah menjalani rumah tangga apalagi di usoia yang
masih muda seperti kamu. Maafkan kami, dulu kami yang menjodohkan kamu dan kamu
menderita karena itu”, kata ibuku dengan sedih dan menangis.
“Tidak,
bapak dan ibu tidak bersalah. Mungkin ini memang sudah takdir-Nya, Fatimah
menerima semuanya. Insya Allah akan ada hikmah dari semua ini”, jawabku
menenangkan orang tuaku.
Sejak
saat itu, aku kembali pada kkehidupanku yang dulu. Aku tetap rutin mengajar di
MI dan TPQ. Mengikuti pengajian rutin tanpa dimarahi lagi.
***
Satu
tahun sudah ku menjalani kehidupanku sendiri, bukan lagi sebagai istri bang
Fuad. Kami juga sudah tidak pernah bertemu lagi. Suatu hari di pagi hari ketika
ibuku menyapu halaman rumah, tiba-tiba datang seorang pemuda yang sepertinya
tak asing bagi ibuku. Yah, Hafidz telah kembali ke Indonesia. Dia mampir ke
rumahku. Dan ibuku mempersilakan masuk.
“Kamu
sudah kembali ke Indonesia? Cepat sekali waktu berlalu. Apa kulaihmu sudah
selesai?”, tanyanya pada Hafidz.
“Alhamdulillah
sudah, bu. Sekarang saya sudah bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di
Jerman. Saya sedang ambil cuti dua bulan, jadi saya pulang ke Indonesia. Ingin
mengunjungi orang tua dan teman-teman saya yang ada di sini”, jawabnya dengan
kalem dan dengan senyumnya yang khas seperti dulu. Dia tetap santun seperti
dulu sebelum berangkat merantau untuk sekolah.
“Alhamdulillah.
Sukses kamu, nak, di sana”, puji ibuku pada bang Hafidz.
“Alhamdulillah.
O iya, bu, ngomong-ngomong bagaimana kabarnya Fatimah?”, tanyanya pada ibuku
karena memang selam aku telah menjadi istri bang Fuad, aku tak pernah
memberikan kabar lagi.
“Dia
dulu sudah menikah, tapi sekarang dia sudah bercerai. Sekarang dia sedang
mengajar di MI”, jawab ibuku sedih karena teringat masa kelamku ketika berumah
tangga.
“Maaf,
bu, saya tidak bermaksud”, jawabnya tak enak karena melihat raut wajah ibuku.
“Tidak
apa-apa, nak. Kamu sudah menikah?”,tanya ibuku menggoda Hafidz.
“Belum,
bu. Belum dipertemukan jodohnya. Bu, bolehkah saya bertemu dengan Fatimah?”
“Tentu
saja boleh, tunggu saja. Sebentar lagi dia juga pulang”, jawab ibuku tersenyum.
“Assalamu’alaikum...”,
ku ucapkan salam ketika sampai di rumah.
“Wa’allaikumussalam
warahmatullah”, jaawab mereka serentak.
“Nah,
ini Fatimah sudah pulang. Nak, ini ada nak Hafidz. Katanya mau bertemu kamu”,
kata ibuku sembari menghampiriku dan aku mencium tangan ibuku.
Sontak
aku kaget. Tiba-tiba saja orang yang selama ini yang ku anggap telah
melupakanku ternyata hadir di depanku. Aku hanya tersenyum padanya dan bang
hafidz juga tersenyum padaku.
“Iya,
bu. Sebentar, saya mau masuk dulu”, kataku sambil berlalu dan tersenyum lagi.
“Bu,
maaf sebelumnya. Mungkin ini terlalu cepat tapi saya sudah sangat yakin dan
mantap mengambil keputusan ini”, kata Hafidz serius pada ibuku.
“Ada
apa, nak?”, tanya ibuku bingung.
“Saya
berencana untuk meminang Fatimah menjadi istri saya,” jawabnya singkat namun
sangat yakin.
“Sebentar
ya, nak. Biar Fatimah sendiri yang memutuskan,” kata ibuku sambil memanggilku
untuk segera keluar. “Fatimah, cepat sini, nak”.
“Ada
apa, bu?”, tanyaku bingung.
“Nak
Hafidz mau meminang kamu menjadi istrinya. Apakah kamu setuju? Ibu dan bapak
mengikuti apa keputusan kamu”, jawab
ibuku serius.
Baru
saja aku pulang dari mengajar, namun sudah dua kali aku dibuatnya kaget. Kawan
lamaku ini memang benar-benar memberikan kejutan yang tak terduga. Aku bingung
harus menjawab bagaimana.
“Saya
pikirkan dulu, insya Allah secepatnya saya akan berikan jawaban”, jawabku
malu-malu.
“Baiklah,
saya paham. Saya akan menunggu jawabannya. Jika setuju, insya Allah secepatnya
saya akan melamarmu”, jawab bang Hafidz.
“Bu,
saya pamit dulu ya. Assalamu’alaikum..”, ucapnya sambil bersalaman mencium
tangan ibuku. Dan seperti biasa, ia hanya tersenyum padaku namun kali ini
senyumnya menyiratkan sebuah harapan.
Kurang
lebih satu minggu setelah bang hafidz menyampaikan tujuan baiknya itu,
jawabanku sudah bulat. Berdiskusi dengan orang tua dan sholat istikharah.
Jawabanku adalah menerima lamaran tersebut. Kemudian ibu menghubungi bang
Hafidz. Bang Hafidz beserta keluarga datang ke rumahku untuk mengkhitbahku. Dua
minggu kemudian kami resmi menikah, tidak ada pesta besar-besaran hanya
syukuran dengan keluarga dan tetangga di kampung serta mengundang beberapa
teman dekat.
***
“Fatimah,
kamu ingat kan janjiku dulu sebelum aku kembali ke Surabaya?”, tanyanya padaku
“Iya,
bang. Abang meminta Fatimah menunggu abang untuk melamar Fatimah”, jawabku
sambil tersenyum padanya.
“Iya,
dan sekarang alhamdulillah hal itu terwujud. Abang mencintai Fatimah dari dulu
hingga kelak sampai ke syurga-Nya, insya Allah”, ucapnya sambil mengecup
keningku dengan lembut.
“Aamiin.
Fatimah juga mencintai abang dengan izin Allah. Fatimah bahagia karena Allah
telah menyatukan kita”, jawabku dengan memeluk bang Hafidz.
“Fatimah,
besok ikut abang jalan-jalan yaa... Abang mau ajak Fatimah ke tempat yang
indaaaaaahhhh sekali. Tidak jauh kok, letaknya masih di kampung kita”, katanya
sambil tersenyum dan menatapku dengan teduh. Sikapnya masih tatap saja lembut seperti
dulu ketika kami masih jadi teman.
“Ke
mana, bang?”, tanyaku penasaran.
“Besok
kamu juga akan tahu. Spesial untuk kita dan ada surprise untuk kamu, sayangku”, ucapnya sambil mengecup keningku
lagi dengan lembut.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, bang Hafidz mengajakku keluar
jalan-jalan.
“Abang
yakin kamu pasti suka”, katanya. Semakin membuatku penasaran.
Ternyata
bang Hafidz mengajakku ke air terjun besar di puncak gunung yang berada dekat
kampung kami. Tempatnya sangat jauh dari keramaian namun sangat indah.
“Subhanallah,
bang. Indah sekali. Bagaimana abang tahu tempat seindah ini?”, tanyaku penuh
kekaguman.
“Abang
dulu sering ke sini ketika merindukanmu namun abang tak dapat bertemu denganmu.
Di sini lah tempat abang ketika menenangkan diri dan berharap suatu hari nanti
abang dapat membawa adik ke tempat ini”, jawabnya sambil memelukku. Aku hanya
membalas dengan senyuman dan pelukkan yang erat padanya dan melihat ke air
terjun indah itu.
Tiba-tiba
saja bang Hafidz mengeluarkan sesuatu dari balik tubuhnya.
“Fatimah,
coba lihat ini”, katanya padaku.
Aku
kaget bukan kepalang. Ada sebuah kalung bertuliskan “ALLAH” sebagai liontinnya.
“Ini
hadiah untuk istriku tersayang. Bertulis ALLAH karena kamu adalah karunia
terindah yang dititipkan Allah untuk hidup abang”, ungkapnya sambil memakaikan
kalung lalu mencium keningku. Aku menangis terharu, bang Hafidz menghapus air
mataku denga jari tangannya dengan sangat lembut.
Spontan
aku memeluknya erat dan menciumnya, lalu berkata dengan lembut di telinganya, “
Terima kasih bang Hafidz, imamku dunia akhirat, insya Allah”.
“Terima
kasih juga karena bersedia menjadi bidadariku”, ucapnya sambil kembali
memelukku dan mengecup keningku dengan lembut.
Hari
yang benar-benar tak akan kami lupakan. Tempat di mana rasa cinta itu tersimpan
rapi. Cinta yang hadir atas izin-Nya. Terjaga dan terpelihara dengan baik
kesuciannya. Tetap menjaga hati meski ujian datang menghampiri kami.
Setelah
cutinya habis, kami berangkat ke Jerman karena bang Hafidz harus kembali
bekerja dan melanjutkan kuliah S2-nya. Rumah tangga kami sangat bahagia. Jarang
sekali kami mengalami cekcok bahkan bertengkar. Satu tahun kami menikah, kami
dikaruniai seorang anak. Rumah tangga kami semakin bahagia dengan kehadiran
sang buah hati.
Kehidupan
rumah tangga kelam yang pernah ku lalui kini sudah berhasil ku lupakan setelah
kehadiran bang Hafidz dalam hidupku. Dia tak pernah melarangku mengikuti
kegiatan-kegiatan yang ku sukai. Dia selalu mendukungku dalam kebaikan. Kini
cintaku bukan lagi berbalas untuk membayar hutang keluarga, namun cinta yang
datang dari hati karena karunia dan izin Allah
SWT. Allah tahu apa yang
manusia tak ketahui, begitu pula dengan perjalanan hidupku yang berliku-liku.
Sekarang aku bahagia dengan keluarga kecilku.
==
SEKIAN ==
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang.
Sungguh, pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berpikir.”
( Q.S. Ar-Rum:21)
by: R_E
0 komentar:
Posting Komentar